Langsung ke konten utama

pemikiran filsafat tentang pendidikan islam


A.    Latar belakang
PASANG surut perjalanan pemikiran kependidikan Islam, tidak akan pernah lepas dari interaksi akumulasi dengan peradaban-peradaban di sekitar perkembangan Islam waktu itu. Dimana perkembangan pemikiran kependidikan lebih dijiwai oleh semangat normatif dan historis. Dikatakan semangat normatif karena perkembangan pemikiran kependidikan dijiwai oleh ajaran dasar yang sumbernya Al-Qur‘an dan hadits. Sedangkan semangat historis adalah merupakan ujud respon terhadap berbagai persoalan hidup umat Islam di berbagai bidang kehidupan.
Sesuai dengan catatan sejarah, bahwa perkembangan pemikiran kependidikan Islam diawali pada saat Dinasti Abbasiyah yang mengalami renaissance, sehingga berakibat pemikiran kependidikan Islam nampak mengalami titik kulminasi. Sedang titik baliknya terjadi pada masa-masa dimana pemikiran-pemikiran para ilmuan Islam, sebagian besar mengalami kemandegan (stagnation) sampai abad ke-14 yaitu munculnya Ibn Khaldun.
Hal ini dikarenakan sejak pada masa Nabi Muhammad Saw. sampai pada masa dinasti Umayyah ilmu pengetahuan belum berkembang pesat, dan masih terpusat pada usaha pemenuhan kebutuhan untuk memahami prinsip-prinsip ajaran Islam sebagai pedoman hidup yang waktu itu secara langsung telah dijawab dan diselesaikan oleh Nabi. Sedangkan pada masa Khulafa al-Rasyidin dan dinasti Umayyah lebih banyak disibukkan dengan pemecahan masalah politik dan perluasan wilayah Islam, dan belum sempat menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Sehingga bisa dibilang pada masa-masa itu patron ilmu pengetahuan belum dimiliki oleh umat Islam. Baru setelah zaman Abbasiyah ilmu pengetahuan dalam berbagai disiplin berkembang.
Awal perkembangannya dimulai dari perkenalannya dengan budaya helenisme, kemudian penerjemahan karya-karya klasik, ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani, Syria, Sinkrit, dan bahasa Pahlevi ke dalam bahasa Arab yang berlangsung dari tahun 750-900 M, sejak masa Al-Mansyur (754-775 M), Harun Ar-Rasyid (786-809 M), dan sampai puncaknya pada masa Al-Makmun (813-833 M). Abad-abad ini merupakan abad penerjemahan yang meletakkan tonggak abad aukflarung Islam kawasan Timur, dan bertahan hingga melampaui abad kesepuluh dan kesebelas (Mehdi Nakosteen, 1996: 208). Walaupun setelah itu, ada gejala penurunan, akan tetapi sampai abad ketiga belas perkembangan ilmu pengetahuan masih ada dan baru benar-benar mengalami stagnasi setelah penghancuran total oleh Hulagu Khan (1258 M) yang juga diikuti oleh jatuhnya orang-orang Muwahid di Spanyol (1268 M). Kalau kita cermati dimasa kemunduran itu sesungguhnya masih muncul ilmuan muslim yaitu Ibn Khaldun (1332-1406 M) sebagai ahli teori sejarah. Sejak inilah stagnation betul-betul terjadi dan ditandai lagi dengan jatuhnya dunia Islam ke tangan Kolonial Eropa, yang mengakibatkan ilmu Islam terbatas pada ilmu agama dan muncullah sekuler.
Baru pada abad ke-19 atau abad kebangkitan Islam mulai ada respons terhadap ilmu-ilmu pengetahuan modern dan termasuk filsafat walaupun ada sikap-sikap yang antagonistik dan akomodatif. Dengan munculnya pelopor modernisasi di dunia Islam yaitu Sayyid Khan (1817-1898 M), orang India yang pertama meyakini perlunya penafsiran baru terhadap Islam, yaitu penafsiran bebas modern dan maju (Busthami M. Said, 1992: 119). Bahkan menimbulkan gejala yang sering ditunjukkan oleh pengamat Barat baik secara netral, tidak senang maupun rasa takut, akan gejala kebangkitan Islam. Naluri manusia untuk selalu ingin tahu itulah yang menjadikan pangkal tolak perkembangan ilmu pengetahuan (Ismail Raji al-Faruqi, 1984: 35). Pemikiran kependidikan Islam mulai muncul, kendatipun masih dalam bentuk “embrionik”, dan berkembang hingga dewasa ini.
Buku berjudul Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. Dengan segala kekurangan dan keterbatasannya, studi dan penelitian buku ini dilakukan dengan tujuan mengelaborasi dan menjelaskan mengenai konsep pendidikan yang dilontarkan para pemikir-pemikir pendidikan di kalangan umat Islam. Buku Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, mengungkapkan pokok-pokok pemikiran pendidikan Islam sejak permulaannya, pada masa Nabi Muhammad Saw., sampai pada masa pembaruan pendidikan yang dilakukan setelah masa Nabi Muhammad Saw., yaitu masa Khulafa al-Rasyidin, Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, dan seterusnya, juga hasil para pemikir pendidikan Islam terkemuka seperti Al-Ghazali, Ibn Khaldun, dan lain-lain. Ditambah lagi, hasil pemikiran para tokoh dari tanah air yang tidak sedikit juga ikut andil memberikan kontribusinya dalam bidang pendidikan, seperti KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy‘ari, Basiuni Imran (Tokoh dari Sambas, Kalimantan Barat), dan lain-lain.
Penelusuran kembali pemikiran pendidikan di kalangan umat Islam memang amat diperlukan. Karena hal ini setidaknya mengingatkan kembali khazanah intelektual yang pernah dimiliki oleh umat Islam di masa lalu. Kesadaran historis ini pada gilirannya akan memelihara kesinambungan atau kontinuitas keilmuan khususnya dalam kajian tentang pendidikan Islam. Pemikiran-pemikiran kependidikan dalam Islam dan pemikiran para tokoh dalam bidang pendidikan ini juga bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan atas kebijakan sesuai dengan kondisi zaman saat ini, sehingga hasil atau pokok-pokok pikiran para ahli ini patut dikaji kembali dalam rangka membenahi sistem pendidikan Islam, terutama di negeri Indonesia tercinta ini.***




Muhamad Abduh dilahirkan pada tahun 1849 didesa mahallat nasr mesir. ayahnya bernama Abduh Hasan Khoirullah berasal dari turki. Menurut riwayat ibunya berasal dari bangsa arab yang silsilahnya sampai ke suku bangsa Umar Bin Khatab.

Pendidikan Muhamad Abduh di mulai dengan balajar menulis dan membaca di rumah setelah beliau hapal kitab suci al-qur’an pada tahun 1863 ia di kirim oleh orang tuanya ke thamta untuk meluruskan bacaanya dan tajwid di masjid al-ahmadi. Namun karena metode pelajaran tidak sesuai yang diberikan gurunya seperti membiasakan menghapal istilah nahwu atau fiqh akhirnya Muhamad abduh kembali ke mahallat nasr dengan tekad tidak akan kembali lagi belajar.

Pada tahun 1866 dalam usia 20 tahun beliau menikah dengan modal niat mau menggarap ladang pertanian seperti halnya dengan ayahnya. Tidak lama menikah, ayahnya memaksa beliau untuk kembali ke thamta tetap dalam perjalanan beliau tidak ke thamta tetapi kedesa Kani Sahurin tempat tinggal Syekh Darwish Khadr yang belajar berbagai ilmu agama di mesir. Syekh Darwish mendorong Muhamad Abduh untuk selalu membaca, berkat dorongan Syekh Darwish, Muhamad Abduh kembali menumbuhkan semangatnya untuk belajar dan membaca buku.
Setelah mengalami perubahan mental terhadap belajar, maka ia kembali ke masjid Ahmadi di thamtha untuk belajar. Pada tahun 1866 beliau berangkat ke Kairo untuk belajar di Al-Azhar. Metode pengajaran di Al-Azhar masih sama dengan di masjid Al-Ahmadi yakni metode mengahapal. Kondisi Al-Azhar ketika itu berlawanan dengan kebiasaan merupakan sesuatu kekafiran. Membaca buku geografi, ilmu kalam dan filsafat adalah haram, sedangkan memakai sepatu adalah bid’ah dan bertentangan dengan ajaran Islam sebenarnya.

Situasi dan kondisi masyarakat Muhamad Abduh beku, kaku menutup rapat-rapat pintu ijtihad serta mengabaikan peranan akal di dalam memahami syariah sementara di eropa khususnya kehidupan masyarakat sangat mendewakan akal. Kondisi demikian, pada dekade selanjutnya akan berpengaruh terhadap ke adan mesir.

Namun pengaruh tersebut dirasakan Muhamad Abduh pada saat ia memasuki universitas Al-Azhar sebagai suatu lembaga pendidikan formal yang membina dan ulama-ulama terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok yang menganut pola taqlid yang merupakan kelompok yang mayoritas dan yang kedua, kelompok yang menganut pola tajdid dan merupakan kelompok minoritas. Muhamad Abduh berada di kelompok minoritas yang ketika itu di pelopori antara lain: Syekh Muhamad Al-Basyuni (ahli sastra) dan Syekh Hasan Thawil (ahli filsafat dan logika)

B. Konsep Pendidikan Muhamad Abduh 

Pembaharuan dalam bidang pendidikan yang juga menjadi prioritas utama Muhamad Ali, berorientasi pada pendidikan barat. Ia mendirikan berbagai macam sekolah yang meniru sistem pendidikan dan pengajaran barat, dari pembaharuan dalam bidang pendidikan tersebut mewariskan dua tipe pendidikan pada abad ke 20. Tipe pertama sekolah tradisional. Tipe kedua, sekolah-sekolah modern yang didirikan oleh pemerintah mesir oleh para misionaris asing. Kedua tipe lembaga pendidikan tidak mempunyai hubungan sama sekali masing-masing berdiri sendiri.

Adanya dua tipe pendidikan tersebut juga berdampak kepada munculnya dua kelas sosial dengan motivasi yang berbeda. Tipe yang pertama melahirkn para ulama dam tokoh masyarakat yang mempertahankan tardisi, sedangkan tipe sekolah kedua melahirkan kelas elit generasi muda yang mendewakan dan menerima perkembangan dari barat tanpa melakukan filterisasi.

Muhamad Abduh malihat terdapat segi-segi negatif dari kedua bentuk pemikiran seehingga ia mengkritik kedua corak lembaga ini. Oleh karena itu ia memandang bahwa jika pola fikir yang pertama tetap di pertahankan maka akan mengakibatkan umat Islam tertinggal jauh dan semakin terdesak oleh arus kehidupan modern. semetara pola fikir yang kedua, Muhamad Abduh melihat bahwa pemikiran modern yang mereka serap dari barat tampa nilai “religius” merupakan bahaya ynag mengancam sendi agama dan moral.

Dari sinilah Muhamad Abduh melihat perlunya mengadakan perbaikan terhadap kedua institusi itu sehingga dua pola pandidikan tersebut dan saling menopang demi untuk mencapai suatu kemajuan serta upaya untuk mempersempit jurang pemisah antara dua lembaga pendidikan yang kelak akan melahirkan para generasi penerus.

C. Urgensi Ekualisasi Dalam Pendidikan 

Salah satu proyek terbesar Muhamad Abduh dalam gerakannya sebagai seorang tokoh pembaharu sepanjang hayatnya adalah pembaharuan dalam bidang pendidikan, dualisme pendidikan yang muncul dengan adanya institusi yang berbeda sehigga menjadi motivasi bagi Muhamad Abduh untuk berusaha keras dua pola pikir tersebut.

Langkah yang di tempuh Muhamad Abduh untuk meminimalisir kesenjangan dualisme pendidikan adalah uapaya menselaraskan, menyeimbangkan antara porsi pelajaran agama dengan pelajaran umum. Hal ini di lakukan untuk memasukan ilmu-ilmu umum kedalam kurikulum sekolah agama dan memasukan pendidikan agama kedalam kurikulum modern yang didirikan pemerintah sebagai sarana untuk mendidik tenaga-tenaga administrasi, militer, kesehatan, perindustrian. Atas usaha Muhamad Abduh tersebut maka didirikan suatu lembaga yakni “majlis pendidikan tinggi”.

untuk mengejar ketertinggalan dan memperkecil dualisme pandidikan Muhamad Abduh mempunyai beberapa langkah untuk memberdayakan sistem Islam antara lain yaitu:

1. Rekonstruksi Tujuan Pendidikan Islam

Untuk memberdayakan sistem pendidkan Islam, Muhamad Abduh menetapkan tujuan, pendididkan islal yang di rumuskan sendiri yakni: Mendidik jiwa dan akal serta menyampaikannya kepada batas-batas kemungkinan seseorang dapat mencapai kebahagian hidup di dunia dan akhirat.
Pendidikan akal ditujuka sebagai alat untuk menanamkan kebiasaan berpikir dan dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk. Dengan menanamkan kebiasaan berpikir, Muhamad Abduh berharap kebekuan intelektual yang melanda kaum muslimin saat itu dapat dicairkan dan dengan pendidikan spiritual diharapkan dapat melahirkan generasi yang tidak hanya mampu berpikir kritis, juga memiliki akhlak mulia dan jiwa yang bersih.

Dalam karya teologisnya yang monumental Muhamad Abduh menselaraskan antara akal dan agama. Beliau berpandangan bahwa al-Qur’an yang diturunkan dengan pelantara lisan nabi di utus oleh tuhan. Oleh karena itu sudah merupakan ketetapan di kalangan kaum muslimin kecuali orang yang tidak percaya terhadap akal kecuali bahwa sebagian dari ketentuan agama tidak mungkin dapat meyakini kecuali dengan akal.

2. Menggagas Kurikulum Pendidikan Islam Yang Integral

Sistem pendidikan yang di perjuangkan oleh Muhamad Abduh adalah sistem pendidikan fungsional yang bukan impor yang mencakup pendidikan universal bagi semua anak, laki-laki maupun perempuan. Semua harus memiliki kemampuan dasar seperti membaca, manulis, dan menghitung. disamping itu, semua harus mendapatkan pendidikan agama.

Bagi sekolah menengah, diberikan mata pelajaran syari’at, kemiliteran, kedokteran, serta pelajaran tentang ilmu pemerintah bagi siswa yang berminat terjun dan bekerja di pemerintahan. Kurikulum harus meliputi antara lain, buku pengantar pengetahuan, seni logika, prinsip penalaran dan tata cara berdebat.

Untuk pendidikan yang lebih tinggi yaitu untuk orientasi guru dan kepala sekolah, maka ia mengggunakan kurikulum yang lebih lengkap yang mencakup antara lain tafsir al-quran, ilmu bahasa, ilmu hadis, studi moralitas, prinsif-prinsif fiqh, histogarfi, seni berbicara.

Kurikulum tersebut di atas merupakan gambaran umum dari kurikulum yang di berikan pada setiap jenjang pendidikan. Dari beberapa kurikulum yang dicetuskan Muhamad Abduh, ia menghendaki bahwa dengan kurikulum tersebut diharapkan akan melahirkan beberapa kelompok masyarakat seperti kelompok awam dan kelompok masyarakat golongan pejabat pemerintah dan militer serta kelompok masyarakat golongan pendidik. Dengan kurikulum yang demikian Muhamad Abduh mencoba menghilangkan jarak dualisme dalam pendidikan.

Adapun usaha Muhamad Abduh menggajukan Universitas Al-Azhar antara lain:
·         Memasukan ilmu-ilmu modern yang berkembang di eropa kedalam al-azhar.
·         Mengubah sistgem pendidikan dari mulai mempelajari ilmu dengan sistem hafalan menjadi sistem pemahaman dan penalaran.
·         Menghidupkan metode munazaroh (discution) sebelum mengarah ke taqlid
·         Membuat peraturan-peraturan tentang pembelajaran seperti larangan membaca hasyiyah (komentar-komentar) dan syarh (penjelasan panjang lebar tentang teks pembelajaran) kepada mahasiswa untuk empat tahun pertama.
·         Masa belajar di perpanjang dan memperpendek masa liburan.
Dari beberapa usaha yang dilakukan oleh Muhamad Abduh, meskipun belum sempat ia aplikasikan sepenuhnya secara temporal. Telah memberikan pengaruh positif terhadap lembaga pendididkan Islam. Usaha Muhamad Abduh kurang begitu lancar disebabkan mendapat tantangan dari kalangan ulama yang kuat berpegang pada tradisi lama teguh dalam mempertahankanya.

DAFTAR PUSTAKA

Suwito dan Fauzan.2003 sejarah. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan. Bandung: Angkasa

Abdurachman Asseqaf Suyadi.2002. Pendidikan Islam mazhab kritis. Yogyakarata: Gama Media
Pada kesempatan ini akan dibahas pandangan-pandangan Ibnu Khaldun mengenai nilai pendidikan. Menurut Ibnu Khaldun dalam awal pembahasannya pada bab empat dari Muqaddimahnya, dia menyatakan bahwa ilmu pendidikan bukanlah suatu aktivitas yang semat-mata bersifat pemikiran dan perenungan yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi ilmu dan pendidikan merupakan gejala konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya dalam tahapan kebudayaan. Menurutnya bahwa ilmu dan pendidikan tidak lain merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani.
Di dalam kitab Muqaddimahnya Ibnu Khaldun tidak memberikan definisi pendidikan secara jelas, ia hanya memberikan gambaran-gambaran secara umum, seperti dikatakan Ibnu Khaldun bahwa:
            Barangsiapa tidak terdidik oleh orang tuanya, maka akan terdidik oleh zaman, maksudnya barangsiapa tidak memperoleh tata krama yang dibutuhkan sehubungan pergaulan bersama melalui orang tua mereka yang mencakup guru-guru dan para sesepuh, dan tidak mempelajari hal itu dari mereka, maka ia akan mempelajarinya dengan bantuan alam, dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang zaman, zaman akan mengajarkannya.       
Dari pendapatnya ini dapat diketahui bahwa pendidikan menurut Ibnu Khaldun mempunyai pengertian yang cukup luas. Pendidikan bukan hanya merupakan proses belajar mengajar yang dibatasi oleh empat dinding, tetapi pendidikan adalah suatu proses, di mana manusia secara sadar menangkap, menyerap, dan menghayati peristiwa-peristiwa alam sepanjang zaman.
Menurut Ibnu Khaldun bahwa secara esensial manusia itu bodoh, dan menjadi berilmu melalui pencarian ilmu pengetahuan. Alasan yang dikemukakan bahwa manusia adalah bagian dari jenis binatang, dan Allah SWT telah membedakannya dengan binatang dengan diberi akal pikiran. Kemampuan manusia untuk berfikir baru dapat dicapai setelah sifat kebinatangannya mencapai kesempurnaan, yaitu dengan melalui proses; kemampuan membedakan. Sebelum pada tahap ini manusia sama sekali persis seperti binatang, manusia hanya berupa setetes sperma, segumpal darah, sekerat daging dan masih ditentukan rupa mentalnya. Kemudian Allah memberikan anugerah berupa pendengaran, penglihatan dan akal. Pada waktu itu manusia adalah materi sepenuhnya karena itu dia tidak mempunyai ilmu pengetahuan. Dia mencapai kesempurnaan bentuknya melalui ilmu pengetahuan yang dicari melalui organ tubuhnya sendiri. Setelah manusia mencapai eksistensinya, dia siap menerima apa yang dibawa para Nabi dan mengamalkannya demi akhiratnya. Maka dia selalu berfikir tentang semuanya. Dari pikiran ini tercipta berbagai ilmu pengetahuan dan keahlian-keahlian. Kemudian manusia ingin mencapai apa yang menjadi tuntutan wataknya; yaitu ingin mengetahui segala sesuatu, lalu dia mencari orang yang lebih dulu memiliki ilmu atau kelebihan. Setelah itu pikiran dan pandangannya dicurahkan pada hakekat kebenaran satu demi satu serta memperhatikan peristiwa-peristiwa yang dialaminya yang berguna bagi esensinya. Akhirnya dia menjadi terlatih sehingga pengajaran terhadap gejala hakekat menjadi suatu kebiasaan (malakah) baginya. Ketika itu ilmunya menjadi suatu ilmu spesial, dan jiwa generasi yang sedang tumbuh pun tertarik untuk memperoleh ilmu tersebut. Merekapun meminta bantuan para ahli ilmu pengetahuan, dan dari sinilah timbul pengajaran. Inilah yang oleh Ibnu Khaldun dikatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan hal yang alami di dalam peradaban manusia.
Adapun tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun, bahwa di dalam Muqaddimahnya ia tidak merumuskan tujuan pendidikan secara jelas, akan tetapi dari uraian yang tersirat, dapat diketahui tujuan yang seharusnya dicapai di dalam pendidikan. Dalam hal ini al-Toumy mencoba menganalisa isi Muqaddimahnya dan ditemukan beberapa tujuan pendidikan yang hendak dicapai. Dijelaskan menurutnya ada enam tujuan yang hendak dicapai melalui pendidikan, antara lain:
1.      Menyiapkan seseorang dari segi keagamaan, yaitu dengan mengajarkan syair-syair agama menurut al-Qur’an dan Hadits Nabi sebab dengan jalan itu potensi iman itu diperkuat, sebagaimana dengan potensi-potensi lain yang jika kita mendarah daging, maka ia seakan-akan menjadi fithrah.
2.      Menyiapkan seseorang dari segi akhlak. Hal ini sesuai pula dengan apa yang dikatakan Muhammad AR., bahwa hakekat pendidikan menurut Islam sesungguhnya adalah menumbuhkan dan membentuk kepribadian manusia yang sempurna melalui budi luhur dan akhlak mulia.
3.      Menyiapkan seseorang dari segi kemasyarakatan atau sosial.
4.      Menyiapkan seseorang dari segi vokasional atau pekerjaan. Ditegaskannya tentang pentingnya pekerjaan sepanjang umur manusia, sedang pengajaran atau pendidikan menurutnya termasuk di antara ketrampilan-ketrampilan itu.
5.      Menyiapkan seseorang dari segi pemikiran, sebab dengan pemikiran seseorang dapat memegang berbagai pekerjaan atau ketrampilan tertentu.
6.      Menyiapkan seseorang dari segi kesenian, di sini termasuk musik, syair, khat, seni bina dan lain-lain.
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan bukan hanya bertujuan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan akan tetapi juga untuk mendapatkan keahlian. Dia telah memberikan porsi yang sama antara apa yang akan dicapai dalam urusan ukhrowi dan duniawi, karena baginya pendidikan adalah jalan untuk memperoleh rizki. Maka atas dasar itulah Ibnu Khaldun beranggapan bahwa target pendidikan adalah memberikan kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan bekerja, karena dia memandang aktivitas ini sangat penting bagi terbukanya pikiran dan kematangan individu. Karena kematangan berfikir adalah alat kemajuan ilmu industri dan sistem sosial.
Dari rumusan yang ingin dicapai Ibnu Khaldun menganut prinsip keseimbangan. Dia ingin anak didik mencapai kebahagiaan duniawi dan sekaligus ukhrowinya kelak. Berangkat dari pengamatan terhadap rumusan tujuan pendidikan yang ingin dicapai Ibnu Khaldun, secara jelas kita dapat melihat bahwa ciri khas pendidikan Islam yaitu sifat moral religius nampak jelas dalam tujuan pendidikannya, dengan tanpa mengabaikan masalah-masalah duniawi. Sehingga secara umum dapat kita katakan bahwa pendapat Ibnu Khaldun tentang nilai pendidikan telah sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan Islam yakni aspirasi yang bernafaskan agama dan moral.
Dalam sejarah Islam maka terdapat 5 (lima) tahap pertumbuhandan perkembangan dunia pendidikan Islam. Pertama, pendidikan masaRasulullah SAW (571-632 H). Kedua, masa Khulafa’ al-Rashidi>n (632-611 M). Ketiga masa Bani Umayyah di Damsyik (661-750 M). Keempatmasa kekuasaan Abbasiyah di Bagdad (750-1250 M ) dan Kelima padamasa jatuhnya kekuasaan Khalifah di Bagdad (1250 - sekarang).46Dari kelima fase tersebut al-Zarnu>ji> hidup sekitar abad 12 (591-640 H/ 1195-1243 M), yaitu pada masa/periode ke empat dari pada pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam. Dalam catatan sejarahperiode ini adalah periode kejayaan dan keemasan peradaban Islam padaumumnya dan pendidikan Islam pada khususnya. Pada masa inipendidikan Islam berkembang begitu pesat yang ditandai denganmunculnya berbagai lembaga pendidikan, mulai dari tingkat dasar sampaitingkat perguruan tinggi, di antaranya lembaga pendidikan tersebut adalahNiz}a>m al-Mulk (457 H/106 M), Madrasah al-Nuriyah al-Kubra yangdidirikan oleh Nur al-Di>n Mah}mu>d Zanki pada tahun 563 H/1167 Mdi Damaskus, Madrasah al-Mustansiriyah yang didirikan oleh KhalifahAbbasiyah al-Mustansir Billah di Bagdad tahun 631 H/ 1234 M, dansekolah ini dilengkapi dengan fasilitas yang mencukupi pada masanya.47Dengan demikian dapat ketahui bahwa al-Zarnu>ji> hidup dalamlingkungan y a n g m e ma n g b e rn u as a p e n di d i ka n y a ng mencukupi untukmembuat ia seorang tokoh pendidikan.
Redaksi buku klasik berjudul “ta’lim al-muta’allim” ini tipis saja, hanya 63 halaman. Buku yang arti judulnya kira-kira “Pedoman untuk Para Pelajar” ini ditulis oleh Ibrahim bin Isma’il al-Zarnuji, seorang tokoh (ulama) pendidikan islam asal tranxosinia yang wafat pada tahun 1194 (591 M).
Walaupun tipis, buku ini dipelajari di banyak pesantren sampai sekarang. Bahkan tidak jarang menjadi buku wajib. Isinya mengulas konsep belajar serta berbagai tips yang harus diperhatikan oleh mereka yang sedang menimba ilmu.
Mereka yang membaca buku ini, namun tidak dibesarkan dalam di lingkungan pesantren, akan segera menangkap banyaknya konsep-konsep kontroversial di dalamnya. Konsep-konsep itu, mungkin, akan dinilai tidak lagi relevan dengan spirit pendidikan yang saat ini berkembang.
Kontroversi akan dirasakan sejak bagaimana Ibrahim Al-Zarnuji mengenalkan filosofi dasar belajar, nilai-nilai moral, sampai ke kiat-kiat praktis yang harus dipraktekkan para pelajar untuk bisa mencapai prestasi.
Belajar, menurutnya, adalah aktifitas yang harus sepenuhnya berorientasi ukhrawi serta harus didorong oleh motivasi semata-mata karena Allah. Belajar adalah bukti rasa syukur kita terhadap anugerah akal dan indera dari-Nya.
Bangunan falsafah dasar seperti ini mengharuskan adanya kesiapan total para pelajar untuk menjadikan belajarnya sebagai sebuah perjalanan spiritual suci yang diyakini memiliki nilai ibadah di hadapan Allah. Akibatnya, serangkaian kiat-kiat praktis, yang oleh sebagian orang terasa mengekang, pun diwajibkannya.
Di antara kiat praktis al-Zarnuji itu (dan sangat banyak mengundang ketidaksetujuan dan para pemerhati pendidikan), misalnya, keharusan total para pelajar untuk patuh kepada gurunya dalam hal apapun, kecuali melakukan sesuatu yang bernilai “maksiat” di hadapan Allah SWT. Pelajar harus menjadikan dirinya sebagai gelas kosong yang siap diisi dengan air yang diciduk dari samudera ilmu sang guru.
Guru, masih menurut Ibrahim Al-Zarnuji, adalah jembatan utama bagi sampainya pengetahuan kepada para penimba ilmu. Sebagai jembatan utama, seorang pelajar harus memilih dengan sangat hati-hati kepada siapa akan berguru.
Ketika guru sudah dipilih, ia harus diperlakukan secara terhormat. Para murid tidak boleh membuatnya tidak enak hati, tidak bertanya jika tidak diperintahkan, tidak boleh berbicara jika tidak dipersilahkan, harus mengambil jarak saat duduk didekatnya, tidak mengetuk pintu kediamannya sampai sang guru keluar sendiri, dan lain sebagainya. Menolak kiat-kiat praktis ini akan menyebabkan para pelajar kehilangan berkah dan manfaat dari pengetahuan yang dipelajarinya.
Kontroversial dan sangat mengekang murid bukan?
Untuk anda para pemerhati konsep pendidikan saat ini, pasti akan menolaknya. Pada awalnya, sayapun bersikap semacam itu. Namun, ketika buku itu saya lihat dalam bingkai sufisme dan tradisi dunia tashawwuf, segera saya menangkap adanya spirit lain.
Dunia tashawwuf adalah dunia yang secara ketat mempraktekkan berbagai disiplin lelaku semacam itu. Kematangan dan pencerahan jiwa hanya akan diperoleh oleh mereka yang menerapkan konsep dan disiplin ketat semacam itu.
Saya melihat, dalam spirit tashawwuf inilah Ibrahim al-Zarnuji menulis buku tipisnya itu. Lebih-lebih ketika al-Zarnuji menyebut serentetan kisah “sukses” guru-gurunya dahulu serta tokoh-tokoh besar Islam dalam karier keilmuan mereka. Kesuksesan mereka, menurut al-Zarnuji, adalah buah dari prakek lelaku seperti yang dianjurkannya itu.
Ingatkah anda dengan larangan penggunaan pena yang tintanya merah? Guru saya sejak sekolah dasar mengharamkannya. Nah, dengan alasan yang berbeda, al-Zarnuji pun melarangnya. Serentetan larangannya lainnya akan ditemukan dalam bukunya itu.
Pada akhirnya saya berpendapat: relevan atau tidaknya buku ini tergantung dari sisi mana kita melihat dan bagaimana kita memperlakukannya…

Komentar

Postingan populer dari blog ini

postwedding of wulan

sample picture

wedding/prewedding in Nibong, Aceh Utara, Indonesia